RINDU karya Tere Liye
Rindu adalah persembahan Tere Liye di tahun 2014 yang betul-betul dirindukan.Rindumerupakan buku ke-20 karya pengarang produktif tersebut. Semua karya-karyanya memiliki ciri khas dan cita rasa yang berbeda. Namun bagi saya, Rinduadalah karya yang tak pernah terbayangkan. Saya tidak habis pikir, lagi-lagi Tere Liye menyuguhkan tema yang tidak biasa. Menurut saya, ide penulisan novel Rindubelum pernah ada di dunia perbukuan Indonesia. Sederhana, tidak muluk-muluk, tapi segar. Novel ini tentang perjalanan panjang jamaah haji Indonesia tahun 1938. Tentang kapal uap Blitar Holland. Tentang sejarah nusantara. Dan tentang pertanyaan-pertanyaan seputar masa lalu, kebencian, takdir, cinta, dan kemunafikan.
Ditulis dengan alur maju, memudahkan pembaca mengikuti jalan cerita. Namun di beberapa bagian, penulis menyuguhkan cerita-cerita lain dalam bentuk dialog, yang berkorelasi pada kisah yang tengah disajikan. Membuat pembaca mengenal secara utuh racikan cerita di novel ini, sehingga setting novel yang didominasi aktifitas penumpang di kapal Blitar Holland, tidak terasa membosankan.
Gaya kepenulisan novel Rindu terbilang sederhana. Membumi. Disisipi dialog bahasa Belanda, yang meski tidak disertakan artinya, pembaca terbantu memahami maksud kalimat dengan deskripsi yang ditulis Tere Liye.
“Mag ik uw kaatje, Meneer?” Salah satu kelasi bertanya sopan, persis saat Gurutta menginjak dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan. (hal. 35)
Novel ini dibuka dengan mukadimah yang unik. Tere Liye menukil fakta sejarah nusantara di tahun 1938. Salah satunya, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda) mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama kalinya. Seterusnya, sosok kapal uap yang akan menjadi saksi seluruh cerita di novel setebal 544 ini mulai digambarkan penulis. Untuk kemudian, Tere Liye menghadirkan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini.
Konon, novel yang baik adalah yang membuat pembaca jatuh cinta atau simpati terhadap tokoh-tokoh yang diciptakan penulisnya. Di novel Rindu, saya merasakan hal tersebut. Memang tidak pada semua tokoh utama, bahkan, saya pribadi tidak terlalu jatuh hati dengan tokoh yang pertama kali dimunculkan Tere Liye, yaitu Daeng Andipati. Bukan apa-apa, hanya saja tokoh dengan karakter seperti Daeng Andipati ini sudah “banyak ditemukan”. Seperti yang digambarkaan Tere Liye, Daeng Andipati adalah pedagang muda dari Makassar, kaya raya, pintar dan baik hati (hal.11)
Daeng Andipati adalah penumpang Blitar Holland yang mengikutsertakan istri, kedua anaknya, serta seorang pembantu. Sosoknya berkarismatik, terpandang, digambarkan dekat dengan orang-orang Belanda. Sekilas, kehidupan Daeng Andipati nampak sempurna. Kebahagiaan seolah meliputinya sepanjang waktu. Istri yang cantik dan salehah, dua anak yang periang dan menggemaskan, juga karir bisnis yang menjanjikan. Namun ada satu hal yang tersembunyi di dada Daeng Andipati. Membuat seluruh kehidupan Daeng Andipati seolah tidak berarti. Adalah kebencian Daeng Andipati terhadap ayahnya.
“…Karena jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah, Gori. Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)
Mencermati hubungan Daeng Andipati dengan ayahnya, kita seolah diajak menoleh kenyataan di sekitar kita. Betapa terkadang kebencian itu bisa lahir dari dua orang yang seharusnya terikat cinta. Ini adalah hal menarik yang diangkat Tere Liye dalam novel Rindu. Kabar baiknya, pertanyaan tentang kebencian itu memiliki jawaban yang mendamaikan. Sehingga siapapun pembaca yang mengalami hal serupa, bisa mengambil sikap terbaik. Seperti biasa, cara Tere Liye menyisipkan pesan-pesan pencerahan selalu sederhana, tidak menggurui. Namun tepat sasaran.
Tokoh lain yang menghiasi perjalanan panjang kapal Blitaar Holland adalah dua kakak beradik, Anna dan Elsa. Dua kanak-kanak ini memberi kesan dan warna tersendiri dalam novel Rindu. Saya membayangkan, novel Rindu ini pasti akan terasa berat tanpa kehadiraan Anna dan Elsa. Sementara Tere Liye, sudah sangat terampil menggambarkan karakter anak-anak dalam novel-novelnya. Saya sungguh jatuh cinta dengan Anna dan Elsa. Polos, periang, dan menggemaskan. Tere Liye memberikan porsi yang banyak untuk cerita mereka. Semakin menegaskan, bahwa kanak-kanak tidak pernah terlepas dari kehidupan kita. Kehadiran mereka adalah penghiburan. Dunia pasti terlihat membosankan tanpa sosok mereka. Ini sekaligus menjadi nilai lebih novel Rindu, ide tentang anak-anak yang menyertai orang dewasa pergi haji hampir tidak pernah disinggung dalam cerita manapun.
Rindu adalah persembahan Tere Liye di tahun 2014 yang betul-betul dirindukan.Rindumerupakan buku ke-20 karya pengarang produktif tersebut. Semua karya-karyanya memiliki ciri khas dan cita rasa yang berbeda. Namun bagi saya, Rinduadalah karya yang tak pernah terbayangkan. Saya tidak habis pikir, lagi-lagi Tere Liye menyuguhkan tema yang tidak biasa. Menurut saya, ide penulisan novel Rindubelum pernah ada di dunia perbukuan Indonesia. Sederhana, tidak muluk-muluk, tapi segar. Novel ini tentang perjalanan panjang jamaah haji Indonesia tahun 1938. Tentang kapal uap Blitar Holland. Tentang sejarah nusantara. Dan tentang pertanyaan-pertanyaan seputar masa lalu, kebencian, takdir, cinta, dan kemunafikan.
Ditulis dengan alur maju, memudahkan pembaca mengikuti jalan cerita. Namun di beberapa bagian, penulis menyuguhkan cerita-cerita lain dalam bentuk dialog, yang berkorelasi pada kisah yang tengah disajikan. Membuat pembaca mengenal secara utuh racikan cerita di novel ini, sehingga setting novel yang didominasi aktifitas penumpang di kapal Blitar Holland, tidak terasa membosankan.
Gaya kepenulisan novel Rindu terbilang sederhana. Membumi. Disisipi dialog bahasa Belanda, yang meski tidak disertakan artinya, pembaca terbantu memahami maksud kalimat dengan deskripsi yang ditulis Tere Liye.
“Mag ik uw kaatje, Meneer?” Salah satu kelasi bertanya sopan, persis saat Gurutta menginjak dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan. (hal. 35)
Novel ini dibuka dengan mukadimah yang unik. Tere Liye menukil fakta sejarah nusantara di tahun 1938. Salah satunya, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda) mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama kalinya. Seterusnya, sosok kapal uap yang akan menjadi saksi seluruh cerita di novel setebal 544 ini mulai digambarkan penulis. Untuk kemudian, Tere Liye menghadirkan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini.
Konon, novel yang baik adalah yang membuat pembaca jatuh cinta atau simpati terhadap tokoh-tokoh yang diciptakan penulisnya. Di novel Rindu, saya merasakan hal tersebut. Memang tidak pada semua tokoh utama, bahkan, saya pribadi tidak terlalu jatuh hati dengan tokoh yang pertama kali dimunculkan Tere Liye, yaitu Daeng Andipati. Bukan apa-apa, hanya saja tokoh dengan karakter seperti Daeng Andipati ini sudah “banyak ditemukan”. Seperti yang digambarkaan Tere Liye, Daeng Andipati adalah pedagang muda dari Makassar, kaya raya, pintar dan baik hati (hal.11)
Daeng Andipati adalah penumpang Blitar Holland yang mengikutsertakan istri, kedua anaknya, serta seorang pembantu. Sosoknya berkarismatik, terpandang, digambarkan dekat dengan orang-orang Belanda. Sekilas, kehidupan Daeng Andipati nampak sempurna. Kebahagiaan seolah meliputinya sepanjang waktu. Istri yang cantik dan salehah, dua anak yang periang dan menggemaskan, juga karir bisnis yang menjanjikan. Namun ada satu hal yang tersembunyi di dada Daeng Andipati. Membuat seluruh kehidupan Daeng Andipati seolah tidak berarti. Adalah kebencian Daeng Andipati terhadap ayahnya.
“…Karena jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah, Gori. Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)
Mencermati hubungan Daeng Andipati dengan ayahnya, kita seolah diajak menoleh kenyataan di sekitar kita. Betapa terkadang kebencian itu bisa lahir dari dua orang yang seharusnya terikat cinta. Ini adalah hal menarik yang diangkat Tere Liye dalam novel Rindu. Kabar baiknya, pertanyaan tentang kebencian itu memiliki jawaban yang mendamaikan. Sehingga siapapun pembaca yang mengalami hal serupa, bisa mengambil sikap terbaik. Seperti biasa, cara Tere Liye menyisipkan pesan-pesan pencerahan selalu sederhana, tidak menggurui. Namun tepat sasaran.
Tokoh lain yang menghiasi perjalanan panjang kapal Blitaar Holland adalah dua kakak beradik, Anna dan Elsa. Dua kanak-kanak ini memberi kesan dan warna tersendiri dalam novel Rindu. Saya membayangkan, novel Rindu ini pasti akan terasa berat tanpa kehadiraan Anna dan Elsa. Sementara Tere Liye, sudah sangat terampil menggambarkan karakter anak-anak dalam novel-novelnya. Saya sungguh jatuh cinta dengan Anna dan Elsa. Polos, periang, dan menggemaskan. Tere Liye memberikan porsi yang banyak untuk cerita mereka. Semakin menegaskan, bahwa kanak-kanak tidak pernah terlepas dari kehidupan kita. Kehadiran mereka adalah penghiburan. Dunia pasti terlihat membosankan tanpa sosok mereka. Ini sekaligus menjadi nilai lebih novel Rindu, ide tentang anak-anak yang menyertai orang dewasa pergi haji hampir tidak pernah disinggung dalam cerita manapun.